Pagi di Kali Brantas dimulai tanpa riuh, hanya riak kecil memantul di badan perahu Jafar. Nelayan paruh baya itu mengikat tali dan menepikan jala, lalu kabar mendadak datang dari ponsel tuanya. Kabar wede 74 juta dari Sweet Bonanza membuat lututnya goyah dan mata memerah.
Kisahnya cepat beredar dari bantaran sungai hingga warung kopi di mulut gang. Warga saling menautkan cerita, sementara Jafar memilih duduk tenang di geladak perahu, menata napas dan pikiran. Rezeki datang pada hari ketika tangkapan ikan tidak banyak.
Arus cenderung bersahabat, namun jaringnya tidak menampung hasil berlebih. Jafar berkisah bahwa beberapa pekan terakhir ia menahan biaya solar dan perawatan mesin. Ia tetap berangkat tiap subuh, merawat kebiasaan dan menjaga harapan.
Rumah panggungnya berjarak beberapa langkah dari dermaga bambu. Di teras kecil, istrinya menyiapkan termos dan roti untuk bekal. Hari itu, langkah mereka terasa lebih ringan meski kebutuhan belum berkurang.
Setelah memastikan notifikasi dan mutasi rekening, Jafar menunjukkan bukti wede kepada ketua RT dan dua tetangga yang kebetulan hadir. Validasi sederhana itu membuat kabar tidak lagi berstatus desas-desus. Wajah Jafar menahan campuran lega dan canggung, seolah enggan berpesta berlebihan.
Ia menyebut Sweet Bonanza sebagai permainan bertema permen yang akhir-akhir ini sesekali ia coba saat menunggu perahu ditambatkan. Tidak ada klaim muluk, hanya pengakuan bahwa keberuntungan menghampiri pada momentum yang pas. Ia menegaskan niat untuk tetap bijak dan menjaga prioritas rumah tangga.
Beberapa warga ikut menenangkan euforia agar tidak menimbulkan kegaduhan. Mereka memahami bahwa permainan berbayar mengandung risiko, sehingga cerita ini diperlakukan sebagai kabar bahagia tanpa dorongan berlebihan. Jafar mengangguk, setuju bahwa rezeki perlu dijaga dengan cara yang benar.
Rencana pertama adalah melunasi utang warung yang selama ini menambal kebutuhan harian. Sisanya dialokasikan untuk servis mesin perahu, biaya sekolah anak, dan sedikit simpanan darurat. Istrinya mencatat kebutuhan pokok di selembar kertas, memastikan setiap rupiah punya tujuan.
Tetangga dekat ikut membantu mengatur jadwal perbaikan perahu dan mencarikan bengkel yang mereka percaya. Ketua RT menyarankan sebagian dana disisihkan untuk iuran kebersihan sungai yang sempat tertunda. Gerak gotong royong membuat suasana kampung hangat dan tertib.
Di sela obrolan, Jafar kembali menyinggung keberuntungan dari Sweet Bonanza. Ia sadar cerita itu mudah memantik kagum. Namun ia menekankan bahwa kehidupan tetap bersandar pada kerja harian di sungai, bukan pada hasil sesaat.
Menjelang sore, air Brantas memantulkan cahaya yang pelan turun. Jafar menatap perahu kecilnya dan berbisik lirih bahwa hari ini memberi ruang bernapas. Ia ingin memastikan rezeki yang datang mengalir ke kebutuhan nyata, menjaga dapur ngebul, dan membuat anaknya belajar tanpa gangguan.
Kabar wede 74 juta dari Sweet Bonanza menjadi penanda bab baru, namun pijakan tetap di papan perahu yang sama. Jafar memilih jalur hati-hati, memadukan kerja di sungai dengan pengelolaan dana yang rapi. Dari tepian Brantas, ia mengirim pesan sunyi bahwa bahagia paling kuat lahir dari kesederhanaan yang terjaga.